Ruangan itu begitu dingin menusuk tulang. Aroma obat khas rumah sakit yang menciumnya saja sudah membuat aku gugup. Sementara aku bermandi peluh dingin yang terasa tidak nyaman dikulit. Dibantu dua suster yang sibuk memasak sabuk berwarna coklat yang pasang disekeliling perutku yang menbuncit dan tegang. Sabuk coklat yang dihubungkan oleh kabel ke sebuah alat kotak yang mengeluarkan suara "dug dug - dug dug - dug dug" dengan begitu kerasnya. Suara detak jantung bayi dari alat rekam jantung tersebut semakin membuat perasaanku tidak nyaman. Setidak nyamannya aku karena nyeri yang semakin kuat menyergap dengan hanya memberi sedikit jeda diantaranya.
" Susteer... sakiiiit... apa mo melahirkan... cepetan... panggil dokternya ! "
" Sabar bu, masih bukaan tujuh kok. Sabar ya... "
Sementara aku berusaha menahan nyeri, menahan gugupnya mendengar detak jantung bayiku, sesuatu yang basah, bening, kental dan lengket keluar membasahi dudukanku. Karena panik dan masih belum tahu cairan kental apa itu yang keluar, aku berteriak teriak seperti orang naik roller coaster.
" Susteeeer !!! Ada yang keluar... apa ini ??? Apa ini suster... ??? "
" Jangan panik bu, tenang bu... tenang ! "
Sabuk rekam jantung dilepas. Pasang underpad. Ganti baju rumah sakit. Nyeri. Histeris. Reda. Tenang. Nyeri lagi. Histeris lagi. Reda lagi. Tenang lagi... begitu seterusnya seperti tape cassette yang dinyalakan dalam mode dir.
Pukul 16.30 ( katanya dokter sudah dijalan menuju rumah sakit )
Aku tenang mengatur nafasku yang tersengal sengal. Sambil memeluk pinggang suster bukan pinggang suami karena beliau kuusir keluar kamar bersalin karena kehadirannya, entah kenapa, semakin membuat pilu perutku. Sementara memeluk pinggang suster yang bertubuh subur tersebut terasa begitu nyaman dan menenangkan. Dan ketika kontraksi berlanjut, kuremas erat erat pinggang, lebih tepatnya lemak, disekeliling perutnya. Suster hanya membalas dengan menggosok perut dan punggung, sembari mengajak ngobrol, menanyakan pertanyaan basa basi, hanya untuk membuat aku rileks. Belakangan saat aku sudah sehat aku mencoba meremas pinggangku sendiri dan rasanya sakit bukan main. Ups, maaf suster...
Pukul 17.05 ( dokter tiba )
Tanpa berucap sepatah kata pun, dibantu para suster, dokter ramah luar biasa bertubuh tambun yang sering aku dan suamiku panggil bajuri itu segera bertukar pakaian operasi. Memakai penutup kepala dan penutup hidung. Membungkus kedua tangannya dengan sarung tangan karet. Membawa suntikan dan... gunting !
Tak ada waktu untuk panik. Apa yang kupikirkan saat ini hanya ingin segera melihat bayiku. Darah dagingku. Anak dari suamiku.
Rasanya seperti digigit semut, seperti kata dokter dokter yang akan menyuntik vaksinasi waktu aku kelas 1 SD dulu, saat jarum suntik bius lokal disuntikkan. Sesaat kemudian yang kurasakan hanya robekan gunting yang menembus kulitku tanpa terasa sakit.
" Dorong buk ya, dorong ! " " Tarik nafas.... push... ! " " Allahu Akbar !!! " Aku mendorong
Jeda. Nyeri hilang sesaat.
" Kalau sakitnya hilang berhenti dulu "
Sakit lagi.
" Sakit Dok ! "
" Ya, dorong lagi ! "
Kurang lebih 3 kali tarikan nafas dalam dan 3 kali mengejan sekuat kuatnya, lahirlah dia... Normal, sehat, merah, sembab, perempuan, lengkap. Tak lama kemudian adzan magrib bergema.
" Alhamdulillah..." Aku menghela nafas sembari merebahkan tubuhku yang kehabisan tenaga, memejamkan mata sejenak, meresapi rasa syukurku yang tidak terkira.
Dia, bayi perempuan sehat berbobot 2,7 kg itu menangis sekencang kencangnya, bergema memenuhi ruangan dan koridor sepi. Papa masuk dan memelukku dengan bahagianya.
" Sudah diadzani pa ? "
" Sudah. "
" Pa... "
" Hmm.. "
" Laper..."
Aku baru ingat kalo belum memasukkan sedikit pun makanan sejak siang tadi. Suster bergegas membawakan makanan rumah sakit. Meski segera dingin karena tertiup udara A/C, makanan rumah sakit yang disuapkan suamiku itu terasa begitu nikmat. Entah karena memang nikmat, lapar atau karena aku sedang berbahagia.
Menurut pengalaman teman teman dan kakak kakak perempuanku yang sudah lebih dulu melahirkan, kondisi setelah melahirkan adalah kondisi terlelah yang paling dirasakan. Biasanya mereka langsung tertidur selama berjam jam dan bangun dikeesokan harinya. Tapi tidak dengan yang aku rasakan.
Setelah membersihkan diri, dibantu suster, dan dipindahkan kekamar pasien kelas satuku yang berisi enam bed, aku justru tidak bisa memejamkan mata. Tatapanku menerawang memandang langit langit kamar yang sama sekali sedang tidak kupandang. Entah apa yang sedang aku pikirkan. Baru sekitar pukul sebelas malam aku bisa merasakan kantuk memenuhi kepalaku.
Keesokan paginya, untuk pertama kalinya, aku bertemu dengan bayi yang telah kukandung selama 38 minggu. Takjub. Dia digenggaman, tertidur pulas, mungil dan merah. Rambutnya hitam dan lebat. Wajahnya masih sembab. Sesekali dia menggeliat lembut. Itu pula saat pertama aku menyusuinya. It's a gift. Anugerah terindah.
Bayi itu kemudian kami beri nama, Tasya Naura Shafina.
Surabaya, 25 Juli 2008
teruntuk putriku tersayang Tasya Naura Shafina
" Susteer... sakiiiit... apa mo melahirkan... cepetan... panggil dokternya ! "
" Sabar bu, masih bukaan tujuh kok. Sabar ya... "
Sementara aku berusaha menahan nyeri, menahan gugupnya mendengar detak jantung bayiku, sesuatu yang basah, bening, kental dan lengket keluar membasahi dudukanku. Karena panik dan masih belum tahu cairan kental apa itu yang keluar, aku berteriak teriak seperti orang naik roller coaster.
" Susteeeer !!! Ada yang keluar... apa ini ??? Apa ini suster... ??? "
" Jangan panik bu, tenang bu... tenang ! "
Sabuk rekam jantung dilepas. Pasang underpad. Ganti baju rumah sakit. Nyeri. Histeris. Reda. Tenang. Nyeri lagi. Histeris lagi. Reda lagi. Tenang lagi... begitu seterusnya seperti tape cassette yang dinyalakan dalam mode dir.
Pukul 16.30 ( katanya dokter sudah dijalan menuju rumah sakit )
Aku tenang mengatur nafasku yang tersengal sengal. Sambil memeluk pinggang suster bukan pinggang suami karena beliau kuusir keluar kamar bersalin karena kehadirannya, entah kenapa, semakin membuat pilu perutku. Sementara memeluk pinggang suster yang bertubuh subur tersebut terasa begitu nyaman dan menenangkan. Dan ketika kontraksi berlanjut, kuremas erat erat pinggang, lebih tepatnya lemak, disekeliling perutnya. Suster hanya membalas dengan menggosok perut dan punggung, sembari mengajak ngobrol, menanyakan pertanyaan basa basi, hanya untuk membuat aku rileks. Belakangan saat aku sudah sehat aku mencoba meremas pinggangku sendiri dan rasanya sakit bukan main. Ups, maaf suster...
Pukul 17.05 ( dokter tiba )
Tanpa berucap sepatah kata pun, dibantu para suster, dokter ramah luar biasa bertubuh tambun yang sering aku dan suamiku panggil bajuri itu segera bertukar pakaian operasi. Memakai penutup kepala dan penutup hidung. Membungkus kedua tangannya dengan sarung tangan karet. Membawa suntikan dan... gunting !
Tak ada waktu untuk panik. Apa yang kupikirkan saat ini hanya ingin segera melihat bayiku. Darah dagingku. Anak dari suamiku.
Rasanya seperti digigit semut, seperti kata dokter dokter yang akan menyuntik vaksinasi waktu aku kelas 1 SD dulu, saat jarum suntik bius lokal disuntikkan. Sesaat kemudian yang kurasakan hanya robekan gunting yang menembus kulitku tanpa terasa sakit.
" Dorong buk ya, dorong ! " " Tarik nafas.... push... ! " " Allahu Akbar !!! " Aku mendorong
Jeda. Nyeri hilang sesaat.
" Kalau sakitnya hilang berhenti dulu "
Sakit lagi.
" Sakit Dok ! "
" Ya, dorong lagi ! "
Kurang lebih 3 kali tarikan nafas dalam dan 3 kali mengejan sekuat kuatnya, lahirlah dia... Normal, sehat, merah, sembab, perempuan, lengkap. Tak lama kemudian adzan magrib bergema.
" Alhamdulillah..." Aku menghela nafas sembari merebahkan tubuhku yang kehabisan tenaga, memejamkan mata sejenak, meresapi rasa syukurku yang tidak terkira.
Dia, bayi perempuan sehat berbobot 2,7 kg itu menangis sekencang kencangnya, bergema memenuhi ruangan dan koridor sepi. Papa masuk dan memelukku dengan bahagianya.
" Sudah diadzani pa ? "
" Sudah. "
" Pa... "
" Hmm.. "
" Laper..."
Aku baru ingat kalo belum memasukkan sedikit pun makanan sejak siang tadi. Suster bergegas membawakan makanan rumah sakit. Meski segera dingin karena tertiup udara A/C, makanan rumah sakit yang disuapkan suamiku itu terasa begitu nikmat. Entah karena memang nikmat, lapar atau karena aku sedang berbahagia.
Menurut pengalaman teman teman dan kakak kakak perempuanku yang sudah lebih dulu melahirkan, kondisi setelah melahirkan adalah kondisi terlelah yang paling dirasakan. Biasanya mereka langsung tertidur selama berjam jam dan bangun dikeesokan harinya. Tapi tidak dengan yang aku rasakan.
Setelah membersihkan diri, dibantu suster, dan dipindahkan kekamar pasien kelas satuku yang berisi enam bed, aku justru tidak bisa memejamkan mata. Tatapanku menerawang memandang langit langit kamar yang sama sekali sedang tidak kupandang. Entah apa yang sedang aku pikirkan. Baru sekitar pukul sebelas malam aku bisa merasakan kantuk memenuhi kepalaku.
Keesokan paginya, untuk pertama kalinya, aku bertemu dengan bayi yang telah kukandung selama 38 minggu. Takjub. Dia digenggaman, tertidur pulas, mungil dan merah. Rambutnya hitam dan lebat. Wajahnya masih sembab. Sesekali dia menggeliat lembut. Itu pula saat pertama aku menyusuinya. It's a gift. Anugerah terindah.
Bayi itu kemudian kami beri nama, Tasya Naura Shafina.
Surabaya, 25 Juli 2008
teruntuk putriku tersayang Tasya Naura Shafina
No comments:
Post a Comment