Dua jam berlalu. Papa baru kembali dari kantornya. Pekerjaan yang aneh, itulah bandara. Dua jam bekerja, empat jamnya break. Dan begitu seterusnya mengikuti jadwal penerbangan. Tidak jarang, beliau terlambat pulang karena penerbangan terakhir juga terlambat. Resiko ground handling, front officer, pegawai lapangan, kuli berdasi atau apalah istilahnya.
" Gimana dek ? "
" Biasa aja pa. Gak mules mules dari tadi. "
" Sabar. Kan masih ada dua jam lagi "
" Iya klo dua jam, lha kalo nambah lagi gimana ? "
Rasanya tempat tidurku dengan sprei baru berwarna hijau itu terasa seperti tempat tidur berduri. Aaaah, benar benar tidak nyaman menunggu seperti ini. Papa berusaha menghiburku, meski aku tahu beliau juga merasakan hal yang sama denganku.
Pukul 15.00 ( 3 jam dari waktu induksi )
Perutku mulas persis seperti mulasnya kalau hari pertama menstruasi. Tapi semenit kemudian nyeri itu hilang. Sepuluh menit kemudian terasa nyeri lagi. Tapi aku masih terlalu acuh untuk menyadari bahwa itu permulaan kontraksi. Sampai tepat pukul setengah empat, nyeri itu mulai mengganggu. Papa dengan paniknya memanggil suster.
Suster menekan lembut perutku dan mulai melihat arlojinya, menghitung berapa jarak waktu dari satu kontraksi kekontraksi yang lain. Jedanya kurang lebih dua menitan. Itu menurut ilmu kira kira ku.
" Lho, ibunya dari tadi nggak ngerasain sakit ? Ini udah bukaan tujuh lo bu ."
" Masa ??? "
Perasaanku semakin tidak karuan. Ya gugup. Ya senang. Ya sakit. Campur aduk jadi satu. Segera aku dibawa keruang bersalin.
" Gimana dek ? "
" Biasa aja pa. Gak mules mules dari tadi. "
" Sabar. Kan masih ada dua jam lagi "
" Iya klo dua jam, lha kalo nambah lagi gimana ? "
Rasanya tempat tidurku dengan sprei baru berwarna hijau itu terasa seperti tempat tidur berduri. Aaaah, benar benar tidak nyaman menunggu seperti ini. Papa berusaha menghiburku, meski aku tahu beliau juga merasakan hal yang sama denganku.
Pukul 15.00 ( 3 jam dari waktu induksi )
Perutku mulas persis seperti mulasnya kalau hari pertama menstruasi. Tapi semenit kemudian nyeri itu hilang. Sepuluh menit kemudian terasa nyeri lagi. Tapi aku masih terlalu acuh untuk menyadari bahwa itu permulaan kontraksi. Sampai tepat pukul setengah empat, nyeri itu mulai mengganggu. Papa dengan paniknya memanggil suster.
Suster menekan lembut perutku dan mulai melihat arlojinya, menghitung berapa jarak waktu dari satu kontraksi kekontraksi yang lain. Jedanya kurang lebih dua menitan. Itu menurut ilmu kira kira ku.
" Lho, ibunya dari tadi nggak ngerasain sakit ? Ini udah bukaan tujuh lo bu ."
" Masa ??? "
Perasaanku semakin tidak karuan. Ya gugup. Ya senang. Ya sakit. Campur aduk jadi satu. Segera aku dibawa keruang bersalin.
No comments:
Post a Comment