Kendaraan kami melaju tenang dijalanan hari Minggu yang lengang. Membawa satu buah tas warna biru muda berisi beberapa helai jarik, daster, pakaian bayi, gurita dan popok, yang kami letakkan dibangku belakang. Perasaanku gelisah tidak karuan. Membayangkan ruang bersalin, dokter, suster, gunting operasi, jarum jahit, persis seperti yang diceritakan teman temanku yang lebih dulu menikah dan punya anak.
Lima belas menit perjalanan menuju rumah sakit kami tempuh. Kami tiba sekitar pukul sepuluh pagi itu. Disambut seorang suster berseragam hijau yang ramah. Rumah sakit tempat aku melahirkan baru berdiri sekitar satu tahun. Cat dinding warna hijau pupus masih terlihat bersih dan fresh. Sprei dikamar inapnya masih baru. Juga bernuansa hijau. Koridornya masih sepi. Tidak ada lalu lalang pasien, suster, bahkan para pengunjung yang hendak membesuk. Saat itu, aku satu satunya pasien di Poli Bersalin.
Setelah membaca surat pengantar dokter, suster mempersilahkan kami memilih kamar mana yang mau dipakai. Ada kamar kelas I yang berisi dua tempat tidur, satu untuk pasien, dan satu lagi untuk pengantar. Yang dilengkapi dengan tivi, kulkas dan A/C sedingin es. Kamar kelas II yang tiap kamarnya berisi dua tempat tidur, hanya dua duanya untuk pasien. Juga dilengkapi dengan tivi, kulkas, dan A/C sedingin es. Kamar kelas III berisi empat tempat tidur yang semuanya untuk pasien. Tiap bed hanya dibatasi oleh tirai pemisah. Hanya dilengkapi tivi dan A/C sedingin es. Kamar kelas IV, terakhir, adalah kamar dengan enam bed ditiap ruangannya. No TV, no frigde, and no A/C.
" Disini aja pa..." pintaku pada papa. Toh gak ada bedanya kelas satu dan kelas empat. Sama sama sakit. Sama sama bahagia. Terlebih lagi, aku satu satunya pasien saat ini. Berada dikelas empat tetap serasa dikelas satu, bedanya aku rela berbagi kamarku dengan lima pasien lainnya. A/C alami pun terasa lebih manusiawi dikulitku yang minim lemak ini. Apalagi udara sedang sangat bersahabat, hingga aku tetap bisa merasakan sejuk meski dengan tubuh tertutup selimut.
Sebelum naik keatas bed, aku dipersilahkan berganti pakaian dengan pakaian yang lebih ringan. Apalagi kalau bukan daster, pakaian kebesaran ibu rumah tangga.
Induksi dipasang sekitar jam dua belas siang. Dan akan bereaksi selama empat jam. Bila selama itu belum juga bereaksi, induksi kedua segera disiapkan. Selama proses induksi aku tidak boleh turun dari tempat tidur. Berada diatas tempat tidur selama empat jam tanpa turun adalah hal yang belum pernah aku lakukan selain tidur malam tentunya. Yah, hanya bayi dalam perutku yang tahu kapan dia ingin keluar. Atau dia begitu sayangnya meninggalkan singgasanya selama sembilan bulan terakhir ini dihuninya.
Lima belas menit perjalanan menuju rumah sakit kami tempuh. Kami tiba sekitar pukul sepuluh pagi itu. Disambut seorang suster berseragam hijau yang ramah. Rumah sakit tempat aku melahirkan baru berdiri sekitar satu tahun. Cat dinding warna hijau pupus masih terlihat bersih dan fresh. Sprei dikamar inapnya masih baru. Juga bernuansa hijau. Koridornya masih sepi. Tidak ada lalu lalang pasien, suster, bahkan para pengunjung yang hendak membesuk. Saat itu, aku satu satunya pasien di Poli Bersalin.
Setelah membaca surat pengantar dokter, suster mempersilahkan kami memilih kamar mana yang mau dipakai. Ada kamar kelas I yang berisi dua tempat tidur, satu untuk pasien, dan satu lagi untuk pengantar. Yang dilengkapi dengan tivi, kulkas dan A/C sedingin es. Kamar kelas II yang tiap kamarnya berisi dua tempat tidur, hanya dua duanya untuk pasien. Juga dilengkapi dengan tivi, kulkas, dan A/C sedingin es. Kamar kelas III berisi empat tempat tidur yang semuanya untuk pasien. Tiap bed hanya dibatasi oleh tirai pemisah. Hanya dilengkapi tivi dan A/C sedingin es. Kamar kelas IV, terakhir, adalah kamar dengan enam bed ditiap ruangannya. No TV, no frigde, and no A/C.
" Disini aja pa..." pintaku pada papa. Toh gak ada bedanya kelas satu dan kelas empat. Sama sama sakit. Sama sama bahagia. Terlebih lagi, aku satu satunya pasien saat ini. Berada dikelas empat tetap serasa dikelas satu, bedanya aku rela berbagi kamarku dengan lima pasien lainnya. A/C alami pun terasa lebih manusiawi dikulitku yang minim lemak ini. Apalagi udara sedang sangat bersahabat, hingga aku tetap bisa merasakan sejuk meski dengan tubuh tertutup selimut.
Sebelum naik keatas bed, aku dipersilahkan berganti pakaian dengan pakaian yang lebih ringan. Apalagi kalau bukan daster, pakaian kebesaran ibu rumah tangga.
Induksi dipasang sekitar jam dua belas siang. Dan akan bereaksi selama empat jam. Bila selama itu belum juga bereaksi, induksi kedua segera disiapkan. Selama proses induksi aku tidak boleh turun dari tempat tidur. Berada diatas tempat tidur selama empat jam tanpa turun adalah hal yang belum pernah aku lakukan selain tidur malam tentunya. Yah, hanya bayi dalam perutku yang tahu kapan dia ingin keluar. Atau dia begitu sayangnya meninggalkan singgasanya selama sembilan bulan terakhir ini dihuninya.
No comments:
Post a Comment