Thursday, 31 July 2008

Mendadak Piknik ( With Photos )

Aku termasuk orang yang agak ribet kalau mau diajak jalan jalan jauh. Paling tidak tujuan harus jelas mau kemana. Naik apa. Sama siapa. Satu lagi yang paling penting, jangan mendadak.

Wajarlah kalau aku begitu. Untuk melakukan sebuah perjalanan kan butuh persiapan. Apalagi ada anak kecil. Jadi persiapan harus matang dan terencana. Biasanya aku mempersiapkan segala sesuatunya sehari sebelumnya. Menyiapkan keperluan mulai pakaian, makanan yang akan dibawa, keperluan selama perjalanan, barang barang atau perkakas yang kira kira diperlukan, bahkan obat obatan. Tidak heran bila aku selalu membawa dua tas besar ( bahkan lebih ) hanya untuk bermalam satu sampai dua hari.

Aku ingat, pernah sekali aku diajak menginap disebuah villa didaerah Trawas. Aku sangat bersemangat. Lebih tepatnya udik. Dua hari sebelumnya aku menyiapkan semuanya. Makanan, pakaian suami, aku dan anak, kompor, magic jar, bumbu bumbu masakan, bahan bahan bakunya-sayur dan segala tetek bengeknya-piring, gelas, obat-obatan, dan lain lain. Tidak ada satupun yang terlupa. Aku bahkan membuat listnya ! Jadi malam sebelumnya aku tidur sedikit telat demi mempersiapkan semua karena kami akan berangkat subuh esok hari. Ribet ya ? Tapi sesampainya disana, aku terkapar, muntah muntah tak berdaya, karena kecapaian. Yang ada malah tak bisa menikmati asiknya liburan.

Tapi terkadang keadaan tidak selalu harus seperti yang kita kehendaki. Apalagi demi menjaga sebuah hubungan silaturahmi, kadang kadang peraturan tidak lagi berlaku. Seperti kemaren ini. Akhir bulan ganjil, tanggal merah, dan suami libur. Tidak ada yang lebih menyenangkan bagiku selain publish, blogwalking lihat hasil peer temen temen KBB dan bersantai bersama keluarga. Nikmatnya...

" Pa, hari ini kompie tak blokir. Mo posting en jalan jalan keblog temen temen. Ok ? "

Jadi pagi itu aku semangat sekali mengerjakan semua kerjaan rumah. Kalau cepet selesai kan bisa cepet publish en jalan jalan. Asyiik...

Kira kira jam sepuluh semua kerjaan sudah beres. Telpon berdering. Oh dari kerabat suami. Mereka berbincang sejenak. Aku sudah menyalakan komputerku, tak sabar ingin segera mempublikasikan pe erku. Belum sempat buka browser, suami menghampiriku.

" Siap siap ya dek, kita diajak pergi "
Mengernyitkan dahi, " Kemana ? "
" Lamongan "
" Naik ? "
" Trooper "
" Sama siapa ? "
" Made sekeluarga "
" Kapan "
" Ya sekarang. "
" HAAAAAAAH ???? "

Telepon berdering lagi. Kali ini istri kerabat kami tadi yang menelepon, hendak berbicara denganku.

" May, nanti bawa bekal ya. Seadanya ajah. Aku udah bawa kok tapi siapa tahu kurang. Ohya, siapin es teh aja taruh ditermos."

JREEEEEENGS. GUBRAKS. GLODAKS. KELONTANGS. BLEDUKS. GLONDANGS.

Buka kulkas, telur tinggal satu. Buka lemari, mi goreng tinggal satu. Lengkap sudah. Satu jam aku persiapan. Hanya satu jam ! Untuk sebuah perjalanan sejauh 100 km dengan jarak tempuh 2 jam. Ditengah panas terik, jam segini dan -sudah bisa dipastikan- lokasi yang kami tuju akan penuh sesak dipenuhi pengunjung dari seluruh propinsi, yang tumplek blek kayak dawet.

Setelah menjemput kerabat kami tersebut, kami berangkat tepat pukul 11.00. Tiba disana dua jam kemudian, persis seperti yang kami perkirakan. Parkiran penuh sehingga kami harus mencari parkiran liar diluar area rekreasi tersebut. What a day !

And you know what ? Setelah kami masuk kedalam, dari pemandangan lautan manusia yang kami lihat, tidak ada satu pun yang membawa perbekalan seperti kami. Dan didepan pintu masuk tertulis disebuah plang besar bertuliskan, DILARANG MEMBAWA MAKANAN KEDALAM AREA INI !

Kami hanya saling pandang, kemudian tertawa terbahak bahak. Menertawakan kebodohan, tepatnya, keudikan kami semua. Tapi matahari sudah tinggi, dan perut sudah mulai bernyanyi. Ah, bodo amat ! Jadi tanpa menyia nyiakan waktu, tenaga, dan bekal yang kami bawa, segeralah kami menggelar piknik kami, ditengah ruang tunggu yang lebih mirip stasiun itu. Membuka bekal kami, berebut makananan atau saling membagikan makanan satu sama lain. Ah, menyenangkan sekali. Kebersamaan yang sangat kami rindukan. Biar kata dilihat beribu pasang mata, kami tetap makan dengan lahapnya. Biar kata banyak yang menertawakan, kami tetap tertawa dan bercanda sepanjang acara piknik kami. Tak terasa habis sudah bekal yang kami bawa. Sekarang kami siap masuk kearea 'terlarang bawa makanan' yang menjadi acara pokok perjalanan ini. Kami siap untuk sebuah Wisata Bahari Lamongan ( d/h Tanjung Kodok )

Masuk kesini, seketika aku melupakan publikasiku pagi ini, blogwalking, dan kepanikan yang menyerang sebelum berangkat. Kami melewati rute wahana yang menyenangkan. Diawali dengan rumah kucing yang -tentu saja- berisi kucing kucing berbulu tebal seperti kemoceng. Mereka ditempatkan dikandang kandang berlapis kaca dan ber A/C. Mereka sangat menggemaskan meski kebanyakan dari mereka sedang tertidur pulas. Lalu menyaksikan bioskop 3D yang memutar video Haunted Mine yang membosankan, bermain ketangkasan, naik wahana yang lebih cocok untuk anak kecil, bertingkah seperti anak kecil yang baru diajak ibunya keDufan, naik perosotan, main pasir, bom bom car, dan puncaknya adalah naik Roller Coaster.

Benda itu berputar, melesat, mengguncang semua penumpangnya dengan kecepatan secepat angin ( ah masa ? ), berputar lagi, melesat lagi, dan penumpangnya berteriak teriak. Entah takut atau senang aku tak peduli. Satu hal yang pasti, jangan pernah minta aku naik 'benda' itu. Nyatanya, aku tidak sanggup menolak ajakan, tepatnya, paksaan untuk menaiki 'benda planet' itu.

" Ayolah May, temenin aku.. ya.. ya..?" narik narik tanganku.
" Enggak ah sama mas ( suamiku ) ajah.. " narik narik tanganku biar dilepas.
" Ah, dia mah gocik ( penakut ) gak seru. Ayolah..." narik tanganku makin keras.
" Nggg.... " Gak berdaya seiring diseretnya lenganku, dan tiba tiba aku udah duduk diatas coaster.

No no. Pak turunin pak ! Besi pengaman diturunkan. Pak ! pak ! Kereta bergerak maju. Loh ! Loh ! Kereta bergerak naik. Oh 'o ! Kereta sampai dipuncak. Kereta meluncur... Nooooooooooooooo !!!! Heleeeeep !!! Heleeeep !!!

" Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.......!!!!!!!!!!" teriak sekenceng kencengnya sambil nutup mata berdoa dalam hati komat kamit. Begitu melek, sampai dipuncak lagi... Meluncur lagi. Huaaaaaaaaa !!! Ya Allah ampunilah dosa dosaku.., jangan ceburkan aku dilaut itu.

Jangan tanya rasanya naik benda itu. Apalagi letaknya tepat ditepi jurang dengan view Batu Kodok. Rasanya dah kayak mo dilempar kelaut aja kena kepala kodok. Kepala mumet. Perut mual. Berkunang kunang. Akan kucatat dibuku pedoman hidupku, Jangan pernah naik roller coster atau kau akan dilempar kelaut yang ada kepala kodoknya !

Kurang lebih 4 jam kami menjelajahi 'negeri' permainan tersebut. Kami pulang tepat pukul 6 sore membawa penat dan lelah, juga mual akibat naik roller coaster ditepi jurang yang ada kepala kodoknya. Tapi kami juga pulang membawa oleh oleh kebahagiaan dan kepuasan yang akan segera kami rindukan.

Pukul 09.30 malam , aku sudah mandi dan menidurkan Tasya, mata udah ngantuk tak tertahankan. Aku berjalan keluar kamar.

" Lho dek gak tidur ta ? " Tanya suami.
" Sik pa ( bentar pa ), aku tak posting dulu..."
Papa cuma geleng geleng kepala.

*****

Ini beberapa oleh oleh yang aku bawa. I just can't believe all these pictures were taken by my very very amateur pocket divi camera using it standar fixed lens, and taken by an amateur like me ! ( tidak ada manipulasi / rekayasa difoto foto ini, penggunakan sofware foto hanya sebatas resized, dan pengaturan brightness, contrass, hue, dan highlight ).

Mungkin waktu motret lagi kesurupan hantu fotografer yang nyangkut diroller coaster. Please enjoy...

Wisata Bahari Lamongan
Entrance - Exit Gate
Wisata Bahari Lamongan
Menara Sustacal ( ? ) 1
Wisata Bahari Lamongan
Menara Sustacal ( ? ) 2
Wisata Bahari Lamongan
Menara Gak Tau Namanya

Sementara ini dulu ya fotonya, yang lain masih dalam proses pematangan. Segera diposting kalau sudah mateng :)

Sunday, 27 July 2008

Lilin Angka Empat

Apa yang lebih menggembirakan gadis kecil berusia empat tahun selain meniup lilin diatas kue ulang tahun dan menerima kado pada hari ulang tahunnya. Ya, paling tidak itu yang bisa aku berikan tahun ini sebagai perayaan di hari ulang tahunnya.

Tidak ada cake ultah berhias butter cream warna warni berukuran 30cm, tidak ada kartu undangan yang dibagikan keteman temannya, juga tidak ada tumpukan kado berjubel jubel dengan aneka warna kertas kado, atau teman teman yang harus berbaris terlebih dahulu untuk mengucapkan selamat ulang tahun dan kemudian menerima potongan kecil cake yang mereka tunggu tunggu. Semua yang aku rencanakan berbulan bulan lalu akhirnya tidak sempat terealisasi. Adapun alasannya, ah, sepertinya sudah pernah aku dijelaskan ya.

Jadi kami-aku, papa, dan eyang apu-merencanakan sebuah pesta kecil kecilan untuk sekedar membuat putri kecil kami tercinta ini gembira. Sebuah drama satu babak yang disusun dan disiapkan oleh eyang apu.

Minggu pagi, kami bertiga -berempat bila Tasya juga dihitung- berangkat kerumah Yang Kung Hari untuk membesuk Tante Irma yang sedang sakit. Aku membawa sebuah Opera Cake berukuran 15x20, cake yang cukup besar bagi kami berdelapan, nantinya, untuk dihabiskan. Mama sudah menyiapkan empat bungkus kado yang dibungkus kertas kado berwarna biru muda dan pink. Disembunyikan dibangku belakang. Melihat cakenya saja, Tasya sudah gembira bukan main. Matanya berkilat kilat tiap kali ia menoleh kebelakang untuk sekedar melihat cake ulang tahun berlumur coklat pekat dari jok depan tempat ia duduk disamping papanya yang sedang menyetir. Yes, it's my birthday cake ! Mungkin itu yang sedang ada dipikirannya.

Opera Cake

Sedangkan keputusan kami untuk merayakan dirumah Yang Kung, terutama karena ingin berbagi kebahagiaan dan sekaligus memberi semangat buat Tante Irma agar segera sembuh.

Begitu tiba, eyang apu diam diam membawa kado kado yang telah disiapkan itu kebelakang. Tasya yang sedang disambut dengan ciuman dan pelukan seperti biasanya, tentu tidak menyadarinya. Jadi masing masing orang dirumah-totalnya ada empat-dibagikan kado kado itu oleh eyang apu. Nantinya mereka disuruh berakting untuk memberikan kado tersebut untuk Tasya seolah olah mereka memang telah mempersiapkannya sebelumnya. Padahal kedatangan kami saja tanpa disertai pemberitahuan sebelumnya. Jadi skenario baru disusun dilokasi, disutradarai oleh eyang apu.

Drama dimulai, tirai diangkat...


look at those innocent smiles...

"Panjang umurnya,

panjang umurnya,

panjang umurnya serta mulia,
serta mulia,
serta muuliiaaa..."

Tiga buah lagu wajib, Happy Birthday to You, Panjang Umurnya dan Tiup Lilinnya kami nyanyian berurut urut. Sampai akhirnya lilin angka empat itu ditiup. I was sure she was enjoying it !



Satu satu semua personil drama memainkan perannya. Memberikan kado untuk adek Tasya yang kegembiraannya sudah tidak terbendung lagi. Dia tertawa lebar, sesekali melonjak kegirangan, tersipu malu, dan tergelak. Sebuah expresi alami yang sangat kami sukai. Lalu acara berlanjut dengan potong kue. Bagian yang paling ditunggu Tasya sejak semalam saat aku menyelesaikan kuenya.


We love her expressions !


Potong kue dibantu eyang Apu

Hari ini kami sangat bahagia melihat dia gembira. Meski bagi kami sangat sederhana, kami yakin bagi dia perayaan ini sangat berarti besar artinya.

Semoga kelak ananda menjadi anak yang shaleha, pinter, cantik, taat pada orang tua, sehat selalu, dan kelak menjadi anak yang berguna bagi nusa, bangsa, orang tua dan keluarga. Amiiien..

Teriring do'a mama papa ditiupan lilin angka empat...

Surabaya, 27 July 2006

Mama

( Untuk Mbak Irma sayang, semoga cepat sembuh dan ceria lagi ya... Mmmuah :-* )

Friday, 25 July 2008

Hari Ini Empat Tahun Yang Lalu #4

RUANG BERSALIN

Ruangan itu begitu dingin menusuk tulang. Aroma obat khas rumah sakit yang menciumnya saja sudah membuat aku gugup. Sementara aku bermandi peluh dingin yang terasa tidak nyaman dikulit. Dibantu dua suster yang sibuk memasak sabuk berwarna coklat yang pasang disekeliling perutku yang menbuncit dan tegang. Sabuk coklat yang dihubungkan oleh kabel ke sebuah alat kotak yang mengeluarkan suara "dug dug - dug dug - dug dug" dengan begitu kerasnya. Suara detak jantung bayi dari alat rekam jantung tersebut semakin membuat perasaanku tidak nyaman. Setidak nyamannya aku karena nyeri yang semakin kuat menyergap dengan hanya memberi sedikit jeda diantaranya.

" Susteer... sakiiiit... apa mo melahirkan... cepetan... panggil dokternya ! "
" Sabar bu, masih bukaan tujuh kok. Sabar ya... "

Sementara aku berusaha menahan nyeri, menahan gugupnya mendengar detak jantung bayiku, sesuatu yang basah, bening, kental dan lengket keluar membasahi dudukanku. Karena panik dan masih belum tahu cairan kental apa itu yang keluar, aku berteriak teriak seperti orang naik roller coaster.

" Susteeeer !!! Ada yang keluar... apa ini ??? Apa ini suster... ??? "
" Jangan panik bu, tenang bu... tenang ! "

Sabuk rekam jantung dilepas. Pasang underpad. Ganti baju rumah sakit. Nyeri. Histeris. Reda. Tenang. Nyeri lagi. Histeris lagi. Reda lagi. Tenang lagi... begitu seterusnya seperti tape cassette yang dinyalakan dalam mode dir.

Pukul 16.30 ( katanya dokter sudah dijalan menuju rumah sakit )

Aku tenang mengatur nafasku yang tersengal sengal. Sambil memeluk pinggang suster bukan pinggang suami karena beliau kuusir keluar kamar bersalin karena kehadirannya, entah kenapa, semakin membuat pilu perutku. Sementara memeluk pinggang suster yang bertubuh subur tersebut terasa begitu nyaman dan menenangkan. Dan ketika kontraksi berlanjut, kuremas erat erat pinggang, lebih tepatnya lemak, disekeliling perutnya. Suster hanya membalas dengan menggosok perut dan punggung, sembari mengajak ngobrol, menanyakan pertanyaan basa basi, hanya untuk membuat aku rileks. Belakangan saat aku sudah sehat aku mencoba meremas pinggangku sendiri dan rasanya sakit bukan main. Ups, maaf suster...

Pukul 17.05 ( dokter tiba )

Tanpa berucap sepatah kata pun, dibantu para suster, dokter ramah luar biasa bertubuh tambun yang sering aku dan suamiku panggil bajuri itu segera bertukar pakaian operasi. Memakai penutup kepala dan penutup hidung. Membungkus kedua tangannya dengan sarung tangan karet. Membawa suntikan dan... gunting !

Tak ada waktu untuk panik. Apa yang kupikirkan saat ini hanya ingin segera melihat bayiku. Darah dagingku. Anak dari suamiku.

Rasanya seperti digigit semut, seperti kata dokter dokter yang akan menyuntik vaksinasi waktu aku kelas 1 SD dulu, saat jarum suntik bius lokal disuntikkan. Sesaat kemudian yang kurasakan hanya robekan gunting yang menembus kulitku tanpa terasa sakit.

" Dorong buk ya, dorong ! " " Tarik nafas.... push... ! " " Allahu Akbar !!! " Aku mendorong
Jeda. Nyeri hilang sesaat.

" Kalau sakitnya hilang berhenti dulu "
Sakit lagi.
" Sakit Dok ! "
" Ya, dorong lagi ! "

Kurang lebih 3 kali tarikan nafas dalam dan 3 kali mengejan sekuat kuatnya, lahirlah dia... Normal, sehat, merah, sembab, perempuan, lengkap. Tak lama kemudian adzan magrib bergema.

" Alhamdulillah..." Aku menghela nafas sembari merebahkan tubuhku yang kehabisan tenaga, memejamkan mata sejenak, meresapi rasa syukurku yang tidak terkira.

Dia, bayi perempuan sehat berbobot 2,7 kg itu menangis sekencang kencangnya, bergema memenuhi ruangan dan koridor sepi. Papa masuk dan memelukku dengan bahagianya.

" Sudah diadzani pa ? "
" Sudah. "
" Pa... "
" Hmm.. "
" Laper..."

Aku baru ingat kalo belum memasukkan sedikit pun makanan sejak siang tadi. Suster bergegas membawakan makanan rumah sakit. Meski segera dingin karena tertiup udara A/C, makanan rumah sakit yang disuapkan suamiku itu terasa begitu nikmat. Entah karena memang nikmat, lapar atau karena aku sedang berbahagia.

Menurut pengalaman teman teman dan kakak kakak perempuanku yang sudah lebih dulu melahirkan, kondisi setelah melahirkan adalah kondisi terlelah yang paling dirasakan. Biasanya mereka langsung tertidur selama berjam jam dan bangun dikeesokan harinya. Tapi tidak dengan yang aku rasakan.

Setelah membersihkan diri, dibantu suster, dan dipindahkan kekamar pasien kelas satuku yang berisi enam bed, aku justru tidak bisa memejamkan mata. Tatapanku menerawang memandang langit langit kamar yang sama sekali sedang tidak kupandang. Entah apa yang sedang aku pikirkan. Baru sekitar pukul sebelas malam aku bisa merasakan kantuk memenuhi kepalaku.

Keesokan paginya, untuk pertama kalinya, aku bertemu dengan bayi yang telah kukandung selama 38 minggu. Takjub. Dia digenggaman, tertidur pulas, mungil dan merah. Rambutnya hitam dan lebat. Wajahnya masih sembab. Sesekali dia menggeliat lembut. Itu pula saat pertama aku menyusuinya. It's a gift. Anugerah terindah.

Bayi itu kemudian kami beri nama, Tasya Naura Shafina.

Surabaya, 25 Juli 2008

teruntuk putriku tersayang Tasya Naura Shafina

Hari Ini Empat Tahun Yang Lalu #3

INDUKSI DAN KONTRAKSI

Dua jam berlalu. Papa baru kembali dari kantornya. Pekerjaan yang aneh, itulah bandara. Dua jam bekerja, empat jamnya break. Dan begitu seterusnya mengikuti jadwal penerbangan. Tidak jarang, beliau terlambat pulang karena penerbangan terakhir juga terlambat. Resiko ground handling, front officer, pegawai lapangan, kuli berdasi atau apalah istilahnya.

" Gimana dek ? "
" Biasa aja pa. Gak mules mules dari tadi. "
" Sabar. Kan masih ada dua jam lagi "
" Iya klo dua jam, lha kalo nambah lagi gimana ? "

Rasanya tempat tidurku dengan sprei baru berwarna hijau itu terasa seperti tempat tidur berduri. Aaaah, benar benar tidak nyaman menunggu seperti ini. Papa berusaha menghiburku, meski aku tahu beliau juga merasakan hal yang sama denganku.

Pukul 15.00 ( 3 jam dari waktu induksi )

Perutku mulas persis seperti mulasnya kalau hari pertama menstruasi. Tapi semenit kemudian nyeri itu hilang. Sepuluh menit kemudian terasa nyeri lagi. Tapi aku masih terlalu acuh untuk menyadari bahwa itu permulaan kontraksi. Sampai tepat pukul setengah empat, nyeri itu mulai mengganggu. Papa dengan paniknya memanggil suster.

Suster menekan lembut perutku dan mulai melihat arlojinya, menghitung berapa jarak waktu dari satu kontraksi kekontraksi yang lain. Jedanya kurang lebih dua menitan. Itu menurut ilmu kira kira ku.

" Lho, ibunya dari tadi nggak ngerasain sakit ? Ini udah bukaan tujuh lo bu ."
" Masa ??? "

Perasaanku semakin tidak karuan. Ya gugup. Ya senang. Ya sakit. Campur aduk jadi satu. Segera aku dibawa keruang bersalin.

Hari Ini Empat Tahun Yang Lalu #2

KLINIK HIJAU

Kendaraan kami melaju tenang dijalanan hari Minggu yang lengang. Membawa satu buah tas warna biru muda berisi beberapa helai jarik, daster, pakaian bayi, gurita dan popok, yang kami letakkan dibangku belakang. Perasaanku gelisah tidak karuan. Membayangkan ruang bersalin, dokter, suster, gunting operasi, jarum jahit, persis seperti yang diceritakan teman temanku yang lebih dulu menikah dan punya anak.

Lima belas menit perjalanan menuju rumah sakit kami tempuh. Kami tiba sekitar pukul sepuluh pagi itu. Disambut seorang suster berseragam hijau yang ramah. Rumah sakit tempat aku melahirkan baru berdiri sekitar satu tahun. Cat dinding warna hijau pupus masih terlihat bersih dan fresh. Sprei dikamar inapnya masih baru. Juga bernuansa hijau. Koridornya masih sepi. Tidak ada lalu lalang pasien, suster, bahkan para pengunjung yang hendak membesuk. Saat itu, aku satu satunya pasien di Poli Bersalin.

Setelah membaca surat pengantar dokter, suster mempersilahkan kami memilih kamar mana yang mau dipakai. Ada kamar kelas I yang berisi dua tempat tidur, satu untuk pasien, dan satu lagi untuk pengantar. Yang dilengkapi dengan tivi, kulkas dan A/C sedingin es. Kamar kelas II yang tiap kamarnya berisi dua tempat tidur, hanya dua duanya untuk pasien. Juga dilengkapi dengan tivi, kulkas, dan A/C sedingin es. Kamar kelas III berisi empat tempat tidur yang semuanya untuk pasien. Tiap bed hanya dibatasi oleh tirai pemisah. Hanya dilengkapi tivi dan A/C sedingin es. Kamar kelas IV, terakhir, adalah kamar dengan enam bed ditiap ruangannya. No TV, no frigde, and no A/C.

" Disini aja pa..." pintaku pada papa. Toh gak ada bedanya kelas satu dan kelas empat. Sama sama sakit. Sama sama bahagia. Terlebih lagi, aku satu satunya pasien saat ini. Berada dikelas empat tetap serasa dikelas satu, bedanya aku rela berbagi kamarku dengan lima pasien lainnya. A/C alami pun terasa lebih manusiawi dikulitku yang minim lemak ini. Apalagi udara sedang sangat bersahabat, hingga aku tetap bisa merasakan sejuk meski dengan tubuh tertutup selimut.

Sebelum naik keatas bed, aku dipersilahkan berganti pakaian dengan pakaian yang lebih ringan. Apalagi kalau bukan daster, pakaian kebesaran ibu rumah tangga.

Induksi dipasang sekitar jam dua belas siang. Dan akan bereaksi selama empat jam. Bila selama itu belum juga bereaksi, induksi kedua segera disiapkan. Selama proses induksi aku tidak boleh turun dari tempat tidur. Berada diatas tempat tidur selama empat jam tanpa turun adalah hal yang belum pernah aku lakukan selain tidur malam tentunya. Yah, hanya bayi dalam perutku yang tahu kapan dia ingin keluar. Atau dia begitu sayangnya meninggalkan singgasanya selama sembilan bulan terakhir ini dihuninya.

Hari Ini Empat Tahun Yang Lalu #1

GELISAH

Sudah seminggu dari due date yang diperkirakan, dan aku semakin gelisah karena belum ada tanda tanda aku segera akan melahirkan. Padahal sudah seminggu terakhir ini, jalan muter muter kompleks perumahan hampir tiga kali sehari ditambah dengan jalan keliilng garasi seperti orang yang sedang bingung mencari cincin yang jatuh. Toh, sampai hari ini si jabang bayi belum menunjukkan pergerakan berarti didalam perutku. Hanya gerakan gerakan halus, dan tendangan tendangan lembut yang senantiasa kurasakan sepanjang satu minggu ini. Tidak ada gerakan mendorong, atau kontraksi petanda dia ingin segera melihat dunia.

" Jika seminggu lagi belum ada kontraksi dan tanda tanda segera melahirkan, maka terpaksa harus dilakukan induksi. Dikhawatirkan bayi akan mengalami keracunan bila terlalu lama didalam kandungan. "

Itu saran terakhir dari dokter kandunganku seminggu lalu sambil menuliskan sesuatu yang tidak jelas bisa dibaca diatas secarik kertas. Yah, itu surat pengantar untuk rumah sakit bila sampai minggu depan belum ada tanda tanda persalinan. Aku hanya bisa mengelus ngelus perutku yang membuncit seraya berucap dalam hati,

" Sayang, cepet keluar ya. Mama gak sabar pengen liat kamu... "

Hari ini minggu pagi. Papa sudah mengenakan pakaian kerjanya, lengkap dengan dasi hitam dan potongan rambut yang disisir kebelakang. Necis, rapi dan wangi aroma cologne yang bisa tercium sampe rumah tetangga seperti biasa. Tidak heran beliau selalu menghabiskan satu botol cologne hanya dalam hitungan hari. Tapi beliau tidak sedang bersiap kekantor. Oya, papa juga bekerja pada hari minggu.

Pagi ini papa ijin dari kantor hanya untuk mengantarku kerumah sakit. Kemudian beliau akan kembali lagi ke kantor setelah aku dirasa cukup nyaman untuk ditinggal. Aneh sekali rasanya. Biasanya ibu ibu yang sedang hamil tua selalu melahirkan pada waktu yang tidak pernah mereka ketahui bahkan dalam kondisi yang tidak pernah mereka duga. Kecuali untuk ibu ibu yang sengaja memilih tanggal tertentu dan melahirkan bayinya melalui operasi caesar. Tapi aku, hari ini, berangkat kerumah sakit bersama suamiku, mengetahui bahwa aku akan segera melahirkan hari ini.